TEMPO Interaktif, Jakarta: Delapan tahun lalu Septian Harriyoga, 31 tahun, Dianing Mahdiawaty, 27 tahun, dan tiga teman semasa kuliah di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung merintis "Java Craft".
Septian dan Dianing, yang baru bergabung pada 2004, mencoba berbisnis pembuatan barang-barang cendera mata. Namun, usaha mereka tak maju-maju.
Sampai April lalu. Waktu itu Dianing tengah melihat-lihat pameran properti di gedung Landmark, Bandung, dan bertemu dengan seorang lelaki tua, G.B. Weking. Di pameran itu Weking menjual buku-buku soal bisnis dan hoki. Niatnya membeli buku, tapi ia malah ditanya-tanyai oleh Weking soal bisnisnya.
Setelah bercerita soal Java Craft, ia disarankan mengganti usahanya dengan nama lain yang terdiri atas delapan huruf, jika ingin sukses.
Tanpa pikir panjang, akhirnya tiga hari kemudian ia mengganti nama Java Craft dengan "Cinnabar". Bisnisnya sih tetap sama: mengerjakan desain interior, cendera mata, dan elemen estetik.
Hasil kreasinya juga masih tetap sama, yakni memadukan unsur kayu, logam, batu, atau bahan sintetis. Ia dan suaminya pun masih berkarya di studio yang sama di Jalan Pagersari, Bojong Koneng, Bandung. Hanya namanya yang berganti.
Tapi, sejak berganti nama, pesanan seperti patung batu, logam, dan plakat memang mengalir deras. Terutama selama lima bulan terakhir. "Sejak ganti nama, kami makin maju," kata Dianing.
Tapi mengapa "Cinnabar"? Menurut lulusan Desain Interior ITB 2004 ini, Cinnabar adalah nama material pembentuk air raksa yang mengandung racun. "Jadi, kami ingin 'meracuni' orang-orang dengan produk kami, supaya balik lagi," ujar Dianing.
Septian, Dianing, dan kawan-kawan awalnya terjun ke bisnis ini hanya bermodal nekat. Jika ada pesanan, mereka akan meminta si pemesan memberi uang muka. Uang muka itulah yang dipakai sebagai modal kerja. Peralatan pun terkadang masih meminjam dari teman.
Hanya semangat dan tekad membara yang membuat Septian dan Dianing tetap bertahan. Bahkan, setelah ditinggal rekan-rekan mereka dan Java Craft sempat berantakan, keduanya tetap setia berada di jalur bisnis ini.
Septian mengenang, order pertama datang dari sebuah perusahaan rokok, senilai Rp 27 juta. Perusahaan rokok itu minta dibuatkan pisau pembuka surat dan pemberat kertas dengan kemasan kotak kayu untuk cendera mata sebanyak 60 set.
Order kedua datang dari pabrik tekstil di Purwakarta senilai Rp 15 juta. Manajemen ingin menghadiahkan pemilik pabrik yang berulang tahun ke-50 dengan plakat berlapis emas 18 karat ukuran 50 x 50 sentimeter.
Yang unik, cendera mata ini berbahan logam duralum aluminium (duralium). Bagi Septian dan kawan-kawan waktu itu, pemakaian bahan campuran aluminium dan mangan ini tergolong baru. "Sekaligus ngetes ilmu," katanya.
Ada kenikmatan, kepuasan, dan tantangan tersendiri saat membentuk duralium. Bahannya yang getas, Septian menjelaskan, enak digergaji. Serbuknya juga tidak menempel seperti aluminium. Jika diampelas, permukaannya bisa sebening kaca dan tak kusam oleh panas dan hujan.
Tapi kelemahan bahan ini adalah mudah patah jika ditekuk. "Masalah ini yang menjadi tantangan untuk kami pecahkan," katanya.
Mungkin karena merasa terus mendapat tantangan dan bisa memuaskan pelanggan, Septian dan Dianing tetap bertahan.
Apalagi pabrik tekstil di Purwakarta itu ternyata puas dan kemudian jadi pelanggan. Mereka memesan lagi plakat berlapis emas 18 karat seharga Rp 20 juta dan sepasang plakat relief pabrik dengan nilai sama. Salah satunya bahkan dipersembahkan untuk Presiden Nigeria Olusegun Obasanjo ketika bertandang ke pabrik tersebut.
Kreasi Cinnabar kini terus berkembang dan makin dikenal. Untuk menjaga kualitas, menurut Septian, pesanan hanya dibatasi 60-70 unit. Jika ada yang tetap memaksa, pemesan biasanya diarahkan ke studio workshop lain.
"Hitung-hitung bagi rezeki ke yang lain, karena teman-teman juga sering kasih order ke kami," katanya. Setiap karya juga diberi garansi. Masa berlakunya tergantung jenis produk yang dipesan.
Dianing menambahkan, mereka berusaha membuat jenis atau model sebuah produk yang berbeda satu sama lain. Jika pesanan ada yang mirip, klien ditawari ide lain karena mereka tidak menerima pesanan yang modelnya sudah pasaran.
Soal omzet, Dianing mengaku, masih di bawah Rp 100 juta per pemesanan. Yang penting, order terus mengalir. Saat ini Cinnabar tengah menyelesaikan pembuatan sepuluh lampu manekin, pesanan sebuah distro pakaian di Bandung, senilai Rp 10 juta.
Mereka juga mendapat order patung batu menhir setinggi 5 meter yang akan menandai pengoperasian sebuah hotel baru di Kota Kembang seharga Rp 21 juta. Juga pengerjaan papan nama berbahan batu andesit dan logam duralium untuk sebuah lokasi wisata di Bogor.
Ke depan, Cinnabar ingin punya ruang pamer sendiri untuk perluasan jaringan pemesan. Pemasaran lewat tebar kartu nama juga dirasakan belum cukup. Sedangkan kalau ikut pameran gratis yang diadakan pemerintah daerah, malah tak tepat sasaran. "Kami ini usaha kecil tapi dengan pangsa menengah ke atas," kata Dianing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Oke,, Happy commenting di blog dofollow ini, Salam blogger ^_^ !!